“Kak, Kakak nulis surat, ya, buat Ros?” Jeng jeng. Bahkan, saya saja merasa dia tak tahu kalau saya suka Ros, eh tahu-tahu, dia bilang soal surat cinta buat Ros. Saya dalam hati, sih, merasa malu bukan main. Tapi, kejadian memalukan ini memberikan informasi yang cukup berharga. Menyakitkan, tapi setidaknya hilang rasa penasaran. ‘Dia bilang, udah nganggep Soleh kayak kakak sendiri.’ Padahal, saya sudah punya dua adik di rumah.

Dari Bab “Cinta Monyet”

“Tapi, kalaupun ternyata saya jago bicara di depan umum, setelah lulus mau jadi apa? Jadi komentator bola? Tak mengerti bola. Jadi ustaz? Ilmu agama saya tak punya. Jadi juru kampanye? Saya tak suka politik. Jadi tukang obat di pinggir jalan? Duitnya sedikit. Jenjang karier pun tak jelas. Jadi pelawak? Ah, saya tak terbayang jadi pelawak dalam grup dan harus bergantian ngelawak. Lagian, pasti susah sekali ya, melawak.”

Dari Bab “1988”

“Setelah mengenali mereka, kami sadar penampilan bukan segalanya. Lagi pula, kalau mau menilai dari penampilan, saya seharusnya yang dinilai paling berantakan. Rambut gondrong tak terurus, jaket himpunan yang makin lusuh, dan celana yang itu-itu saja. Padahal, harusnya saya mewakili kampus yang stereotipnya berisi mahasiswa modis. Kalau melihat foto semasa KKN, saya terlihat seperti mamang-mamang memakai jaket himpunan.”

Dari Bab “2000”

Sebelum menjadi jurnalis, sebelum menjadi stand-up comedian, Soleh adalah seorang Macan Kampus. Julukan itu didapatnya karena terlalu sering aktif di kegiatan kampus. Pagi, siang, malam, selalu beredar dan menghias kehidupan kampus dengan kekonyolannya. Dan, seperti kebanyakan manusia lainnya di dunia ini, Soleh juga pernah ada pada fase bingung MAU JADI APA nanti.

Muka Soleh ternyata tak berubah sejak Ospek 1997. Ketika orang ingin awet muda, dia memilih awet tua. Semoga karya karya Soleh akan abadi seperti mukanya.

– Ronal Surapradja, artis serbabisa dengan harga bersaing

Download Ebook PDF Mau Jadi Apa? - Soleh Solihun