“Nggak ada udaranyaaaaa…,” aku menjerit, megap-megap, tangisku pecah.
Kutatap orang-orang di sekitarku, betapa mudahnya udara keluar masuk hidung mereka. Mengapa sulit sekali bagiku menghirup udara itu? Inikah akhir hidupku? Kutatap jam dinding, jarum menunjuk ke angka 5.
“Jam 5 sore, aku siap Rabb, jika ini memang waktunya….”
Aku pun terkulai, mataku menutup.
Mimih menjerit, suara tilawah Al-Quran semakin nyaring.
Jantungku bengkak, paru-paru terendam air. Satu-satunya jalan adalah cuci darah! Akhirnya, kujalani juga hemodialisis itu, hingga kini, sepuluh tahun sudah.
Berbagai tekanan dan tempaan hadir dalam hidupku. Rasanya, sudah jatuh, tersungkur, tak sanggup bangun, kemudian tertimpa tangga pula hingga nyaris kehilangan kesadaran. Berbagai komplikasi kualami: ginjal yang tak berfungsi, infeksi lambung, hingga hepatitis C. Rambut rontok serta kulit pucat, legam, kering, dan bersisik seolah menjadi ciri khasku saat itu. Jantung berdebar, sesak napas, mual, muntah, diare, pegal linu, gatal, letih, lesu seolah menjadi makananku sehari-hari kala itu. Semuanya berimbas pada kondisi psikis dan ruhiyahku.
Apa yang membuatku bertahan? Mencari alasan mengapa Allah masih memberikan kesempatan hidup padaku adalah salah satunya. Ada sesuatu yang masih harus kulakukan di alam fana ini. Jika tidak, mungkin Allah sudah mengajakku pulang jam 5 sore itu.
Sungguh, batas hidup dan mati itu ternyata teramat tipis.
Download Ebook PDF Perempuan Cahaya Karya Lien Auliya Rachmach
0 Comments